Senin, 10 November 2014

Metafisika



A.      Pengertian Metafisika
Metafisika sebagai sebuah disiplin filsafat, metafisika telah dimulai sejak zaman yunani kuno, mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika.
1.         Pengertian Metafisika Menurut Para Filsuf
a.    Aristoteles: Metafisika adalah cabang filsafat yang mengkaji yang-ada sebagai yang-ada. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:
1)         Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental  dan penyebab-penyebab pertama.
2)         Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
3)         Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.
Dari ketiga keterangan Aristoteles tentang metafisika tersebut,  sebenarnya terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, yang ada sebagai yang ada dan yang Ilahi.
b.    Anton Bakker: Metafisika adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum.
c.    Frederick Sontag: Metafisika adalah filsafat pokok yang menelaah ‘prinsip pertama’ (the first principle).
d.   Van Peursen: Metafisika adalah bagian filsafat yang memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan mengenai akar terdalam yang mendasari segala yang-ada.
Dari uraian tentang pengertian metafisika dapat dipahami bahwa metafisika berangkat dari yang kita alami sampai kepada prinsip-prinsip dasar. Dengan demikian diharapkan bahwa kita sampai pada Sang Illahi yang disebut Allah oleh orang yang beragama. Selain itu, dengan menyadari keterbatasan daya pikir manusia, metafisika mengajarkan kepada kita kebijaksanaan hidup.  

B.       Aspek-Aspek Metafisika
1.         Kosmologi
Dalam sistematika filsafat, kosmologi merupakan bagian dari kajian metafisika. Dilihat dari kata dasarnya, kosmologi berasal dari kata kosmos yang berarti aturan, atau keseluruhan yang teratur, sebagai lawan dari chaos (kekacau- balauan). Maka sebenarnya kosmologi adalah pengetahuan filosofis tentang keteraturan alam. 
Dalam dunia kosmologi, ada beberapa pendapat tentang alam, pertama, memandang bahwa alam ini adalah suatu system yang tetap. Kedua, alam ini sebagai sebuah proses. Ketiga, alam sebagaimana manusia mengetahuinya, hakikatnya adalah konstruksi rasio manusia.
Perkembangan pemikiran tentang alam jelas membuat corak kosmologi juga mengalami perkembangan. Secara umum dapat dibedakan menjadi dua; yaitu apa yang disebut dengan kosmologi metafisik dan kosmologi empirik yang memarginalkan kosmologi metafisik. 
Namun dewasa ini sejarah pun mencatat bahwa ada kecenderungan dari kalangan ilmuwan untuk kembali ke kosmologi metafisika, ini terjadi lantaran penglihatan ilmuwan sendiri, atas kelemahan sains modern yang bertumpu pada paradigma Cartesian Newtonian dengan pandangan mekanistis terhadap alam. Alam dilihat hanya sebagai objek dan komponen- komponen yang terkait dengan relsi kausal dan kering sama sekali dari makna.


2.      Teologi
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan. Sedangkan menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning god (diskursus atau pemikiran tentang tuhan) lalu  Reese mengatakan bahwa, “teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional
3.      Antropologi
Antropologi berasal dari bahasa latin yaitu anthropos yang artinya manusia dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi kalau diartikan dari namanya, antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia. Menurut Koentjaraningrat,  Beliau mengartikan Antopologi yaitu “ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Dengan demikian Antropologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu mengenai manusia baik dari aspek fisik maupun sosialnya.
Dari pertanyaan hakiki tentang manusia ini, telah lahir berbagai cabang ilmu, misalnya psikologi, sosiologi dengan berbagai cabangnya, ilmu biologi, kedokteran juga dengan berbagai cabangnya. Belum lagi dari sudut pandang agama, tradisi, budaya, dll. Semua ini memperlihatkan betapa problem manusia benar- benar merupakan pembicaraan yang menarik sepanjang zaman.
Dalam sejarah filasafat, pembicaraan manusia sudah dimulai sejak filsuf Socrates, lalu diikuti oleh Plato yang mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk jasmani yang ‘kasar’ sekaligus makhluk rohani yang dapat bertransendensi, kemudian Aristoteles, hingga pada akhirnya pendapat Aristoteles ini mempengaruhi aliran Rasionalisme dengan metode a priori yaitu kesadaran umum yang merupakan bawaan manusia. Tapi memperoleh respon dari aliran Empirisisme dengan metode a posteriori yang mengatakan bahwa hakikat manusia itu adalah kepekaan menangkap kesan. Kemudian keduanya ini didamaikan oleh Immanuel Kant yang mengakui bahwa hakikat manusia itu baik a priori (pikiran) maupun a posteriori (Inderanya).

Kajian soal manusia juga dilakukan oleh Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya. Menurutnya, inti manusia adalah jiwanya. Dan jiwa itu terdiri dari tiga, yaitu id  (nafsu yang agresif), ego (jiwa manusia yang bertugas memberi pertimbangan), super ego (semacam seperangkat kaidah atau cita- cita, yang secara bawah sadar ‘otomatis’ menunjuk bagaimana potensi itu mesti tampil).
Berbagai pendapat tentang manusia ternyata belum semuanya terungkap. Sampai hari ini, diskusi mengenai manusia juga terus berlangsung. Maka ditemukanlah teori tentang IQ (kecerdasan intelegensi) EQ (kecerdasan emosi) SQ (kecerdasan spiritual). Begitulah para filsuf membicarakan mengenai manusia.

4.      Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa yunani yang artinya yang ada dan logos yang artinya ilmu. Jadi, ontologiy artinya ilmu tentang yang ada. Ontologi mempelajari tentang studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles.

C.      Manfaat Pengkajian Metafisika Dalam Kehidupan Manusia Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal. Pengkajian tentang metafisika membawa pengaruh secara langsung ataupun tidak langsung dalam  kehidupan manusia yang akan melahirkan asumsi yang mendalam dan kesadaran tentang jati dirinya sebagai manusia dan hakikat dirinya. Metafisika mengajak manusia memahami dirinya secara psikis (iman).
Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini.
Secara sadar atau tidak, manusia dalam kehidupan sehari-hari, sering membicarakan tentang hal metafisik contoh sederhananya, manusia yang percaya pada hal-hal yang metafisik/immathal yang berbau metafisika(kepercayaan). Adanya hantu merupakan salah sateri (idealism).
            Pengkajian ini membawa pengaruh yang cukup dalam. Manusia yang hanya percaya kepada yang fisik cenderung berfikiran materialis. Berbeda dengan manusia yang percaya kepada hal-hal yang metafisik cenderung lebih bersifat rohani/idealis walaupun tidak mesti.
Perjalanan pemikiran metafisika ini telah mengalami perjalanan yang panjang dan telah pula melahirkan tokoh-tokoh cendekiawan. Dalam catatan sejarah, pengkajian mengenai metafisika sebagai sebuah disiplin (ilmu) atau sekurang-kurangnya pengetahuan, telah dimulai sejak sebelum masehi, tepatnya di Yunani. Dimulai dari Thales, Pythagoras (+ 600 SM), Plotinus (204-269 SM), Thomas Aquinas (1224-1274 M, sampai pada Santre (1905-1980). Thales adalah orang pertama yang mempersoalkan substansi mendalam dari segala sesuatu. Tapi yang jelas, perkembangan tersebut telah membawa dampak yang cukup konstributif bagi umat manusia dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri. Kemajuan yang diperoleh sekarang, tidak terlepas dari peranan pengkajian terhadap metafisika tersebut sehingga manusia lebih bisa memahami jati dirinya sebahai penuntut ilmu serta hakikat ilmu yang dituntutnya itu.

D.      Manfaat Pengkajian Metafisika Dalam Kehidupan Manusia Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Manfaat yang kita peroleh dalam mengkaji Metafisika dalam hal Perkembangan Ilmu Pengetahuan antara lain:
1.    Kontribusi metafisika terletak pada waktu terbentuknya paradigma ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sainsyglain, kejadian personal dan histories.
2.    Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam.
3.    Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan & kreativitas baru
4.    Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada, artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri sendiri, sesama manusia , dan dunia.
5.   Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komuniksi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetapi juga antar disiplin ilmu yang lain, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.



















DAFTAR PUSTAKA

Bekker, Anton. 1994. Antropologi Metafisik. Yogyakarta: Penerbit Kansius

Kees, Bertens. 1988.  Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


Wikipedia.“Metafisika”.http://id.m.wikipedia.org/wiki/Metafisika. Diakses pada 5 Oktober 2013

Fadli. “Ontologi Dalam Keilmuan”. http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/ontologi-epistemologi-aksiologi-dalam-keilmuan/. Diakses pada 5 Oktober 2013

“Contoh Kajian Filsafat”. http://saymyfuture.blogspot.com/2011/12/cabang-kajian-filsafat-problem.html. Diakses pada 7 Oktober 2013

“Cabang-Cabang Filsafat”.http://wongrowokele.blogspot.com/2011/11/cabang-cabang-filsafat.html. Diakses pada 7 Oktober 2013

1 komentar: